Sabtu, 06 November 2010

mengenal dan memuja leluhur, dewata dan menuju Tuhan

Dalam keseharian kita di bali, banyak dari kita yang melaksanakan ritual-ritual yang memang sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Tanpa bertanya apa arti ritual tersebut, siapa yang di puja, dan untuk apa kita memuja, kita laksanakan ritual-ritual tersebut secara terus-menerus. Tetapi, bahkan terkadang dengan bertanyapun jawaban yang diberikan oleh para tetua kita sebagian masih kurang memuaskan alias masih menimbulkan banyak pertanyaan. Spiritualitas bagi kebanyakan kita hanyalah sebatas tataran ritual yang tidak dimengerti dan tempat-tempat pemujaan hanyalah tempat untuk menghaturkan sesajen dan sekadar berdoa tanpa mengetahui kepada manifestasi Tuhan yang mana kita berdoa.
Terkadang kita mendapat cibiran dari pengnut agama lain bahwa Hindu Bali bukanlah agama,tetapi hanyalah sebuah budaya nusantara seperti yang dilaksanakan oleh banyak suku lain di indonesia, seperti pemujan leluhur yang ada juga pada suku-suku lain yang beragama non-Hindu. Kita hanya bisa menerima cibiran tersebut tanpa memberikan jawaban yang pasti. Menurut hemat saya, memuja leluhur juga merupakan suatu bentuk pemujaan Tuhan, dimana dalam konsep ke Hindu bali-an kita, dalam suatu rumah, para leluhur distanakan sebagai Bethara Guru yang di pemerajan sendiri mendapat tempat istimewa di Rong Tiga bersama dengan manifestasi Tuhan dalam bentuk Trimurti (Brahma, Visnu, Ciwa). Hal ini memiliki makna filosophis bahwa para leluhur yang telah suci tersebut telah menyatu dengan Tuhan Ciwa, sehingga dapat disebut sebagai Ciwa Guru. Dalam Bagavad Ghita sendiri diuraikan mengenai kemuliaan memuja leluhur dan para dewa, karena itu sama dengan memuja Brahman (Tuhan) itu sendiri, tetapi dalam hal ini spiritualitas kita tidak boleh berhenti pada tataran ini saja tetapi lebih memfokus ketataran ke Brahmanan (keTuhanan) itu sendiri.

Jadi, jawaban dari pertanyaan apakah agama Hindu di Bali hanya budaya atau tidak tersebut telah ada sejak ratusan tahun lalu ketika para Rsi-Rsi agung kita menancapkan tonggak hindu di bali, dimana konsep ke Hinduan di bali sebenarnya sudah sangat terancang dengan bagus pada masa-masa Bali kuno, terutama masa penataan agama Hindu oleh arsitek keagamaan terbesar kita yaitu Ida Mpu Kuturan atau dikenal juga dengan Mpu Rajakertha. Dari tingkat pelangkiran, pemerajan, merajan agung, paibon/dadya, dadya agung, kawitan, padharman, para ista dewata (terutama trimurti) yang akhirnya berpulang pada Brahman yang pada tataran manifestasi beliau sebagai Ciwa (sada ciwa, parama ciwa, dan ciwa). Contoh riil hal ini dapat kita lihat di sistem persembahyangan Pura Besakih.
Tetapi realita di masyarakat untuk selama ini berkata lain, sehingga pendapat bahwa agama Hindu di Bali adalah sebuah ritual budaya tidaklah terlalu salah. Kita manusia Bali dirancang oleh para leluhur kita dari jaman Bali kuno untuk selalu dekat dengan Tuhan. Di dalam kamar atau ruangan lain dalam rumah, kita memiliki pelangkiran, di masing masing rumah ada pamerajan, di masing masing keluarga besar memiliki paibon/dadya yang menjurus pada kawitan dan seterusnya. Tetapi ketika ditanya apa fungsi dan siapa yang dipuja pada bangunan-bangunan suci tersebut, kita sering kali tidak tahu secara pasti. dan ini merupakan suatu aib yang membuat kita malu pada para leluhur kita para Rsi-Rsi agung yang telah merancang keHinduan dengan sangat baik di Bali. Oleh karena itu, sebagai manusia yang ingin berperan sebagai suputra, mengenal manifestasi Tuhan, dimulai dari mengenal perjalanan leluhur akan memberikan inspirasi tersendiri akan keyakinan yang lebih mantap untuk memuja Tuhan, karena percaya atau tidak, bagi manusia-manusia Bali, dengan memuja, mempelajari dan mengenal leluhur dengan 'baik dan BENAR' tidaklah mengarahkan kita kepada fanatisme kesorohan, tetapi membukakan jalan kita agar lebih mulus untuk bertemu dengan sang Paramaatman. Suatu contoh: ketika suatu keluarga di Bali tidak mengetahui apa dan dimana kawitan mereka akan berdmpak sangat negatif terhadap keluarga tersebut, seperti cekcok, hancur berantakan dan lain-lain. Hal ini suatu akibat dari kedurhakaan pada para leluhur. Ini bukanlah kutukan, karena Beliau yang bagaikan orang tua tidak akan pernah mengutuk anaknya. Selalu ada maaf. Beliau yang hanya meminta kita untuk mengingat  dan menghaturkan bhakti kepada mereka agar jalan kita menuju Tuhan lebih didekatkan. Jadi, kenapa rgu, mari kita lebih dekatkan diri dengan Bhatara Kawitan kita, dengan mempelajari text-text agama yang telah beliau-beliau tinggalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar