Sabtu, 13 November 2010

alam dan Tuhan

Mistisme adalah sesuatu yang familiar bagi orang-orang Bali. Mulai dari leak, balian, desti, dan hal-hal seram lainnya yang sering membuat bulu kuduk orang awam berdiri telah mendoktrin pikiran orang-orang Bali. Hal ini di Bali sejatinya telah ada sejak jaman prasejarah animisme dan dinamisme, dimana keterbatasan manusia untuk mengerti alam dan ketakutan terhadap kekuatan alam telah membentuk suatu konsep kepercayaan, dimana kepercayaan ini kemudian dirangkul oleh agama Hindu. Mudahnya Hindu merangkul kepercayaan animisme dan dinamisme ini dikarenakan mungkin cuma Hindu agama yang membahas tentang alam dan ilmu-ilmu gaib, contohnya pada kitab atharwa veda dan yajur veda yang mengupas tentang mantra-mantra penetralisir butha yang menciptakan penyakit-penyakit. Alam menurut ajaran Hindu adalah suatu kesatuan sistem yang diciptakan oleh Brahman, dimana dimensi akasa dan perthiwi serta komponen energi-energi seperti bayu, gni, dll.bersinergi membentuk suatu roda perputaran kehidupan yang disimbolkan dalam aksara Ang, Ung Mang yang berputar dalam swastika ke kanan ke siklus utpethi-stithi-pralina. Akasa (dimensi langit) merupakan ayah yang selalu menjaga sedangkan Prthiwi (dimensi bumi) merupakan ibu yang memelihara dan memberi kita anugerah berupa pangan. Di Bali sendiri hal ini telah dimengerti oleh para tetua kita, contohnya ketika kita mengalami musibah kapetengan di jalan, diharapkan kita mengetuk bumi tiga kali meminta perlindungan bapa akasa dan ibu prthiwi. Bumi  beserta isi dan segala fenomenanya patut kita syukuri, di Bali dirayakan dengan upacara tumpek bubuh, tumpek kandang, dan berbagai macam pecaruan yang sesuai siklusnya diharakan bisa mententeramkan bumi. Bumi sendiri disebut dengan prthiwi yang mana merupakan nama lain dari Dhurga, wujud seorang ibu yang selalu memelihara anak-anaknya dengan kasih. Pengejawantahan Dhurga di Bali sebagai dewi penguasa kuburan semata telah menenggelamkan posisi Dhurga sebagai sosok ibu yang welas asih, sehingga segala hal-hal yang berbau Dhurga dianggap seram oleh masyarakat kita. Padahal kuburan sendiri merupakan tempat yang suci, tempat untuk melebur panca maha butha dan mengantarkan para jiwatman pada alam kematian unutk bersatu dengan Paramaatman (tergantung dari karma). Di Bali Dhurga identik dengan leak, dan leak identik dengan balian, dengan aji ugig, desti dan lain-lain yang negatif. Padahal Leak sendiri merupakan pengejawantahan dan pemahaman spiritual terhadap panca aksara (nama shivaya), dimana terjadi pembebasan spiritual melalui jalan hidup tantraisme yang berbasis pada shivaisme. Banyak orang-orang di Bali yang karena ketidaktahuannya terhadap hal-hal mistis menjadi hyper phobia di jaman modern ini, dimana sedikit saja mengalami musibah selalu mengubungkannya dengan hal-hal mistis. Para balian menjadi laris karena order meluasan dan lain-lain yang terus mengalir, kerauhan dan kesusupan menjadi pedoman orang-orang dalam berupacara dan beribadah, dedemit dan samar menjadi sesembahan karena memberikan kekayaan, dan banyak hal-hal lain lagi yang patut dipertanyakan. Hal-hal ini bertolak belakang dengan konsep agama Hindu yang telah ditancapkan oleh para leluhur kita, para Maha Rsi yang menuntun kita lepas dari ajaran animisme dan dinamisme untuk menuju kepada hakekat Brahman yang sejati. Alam dan segala isinya (bhumi) merupakan suatu organisme yang hidup, gunung-gunung, danau, lautan, sarwa bhuta (pepohonan, binatang, makhluk gaib) dan segala aspek alam lain merupakan suatu rangkaian yang saling melengkapi. Suatu anugrah dari kekuatan Brahma, yang dipelihara oleh kekuatan visnu dan akhirnya akan dilebur untuk diperbarui lagi oleh Rudhra. Dengan menjaga sarwa bhuta dan menempatkannya sesuai dengan posisi dan perannya merupakan suatu bhakti terhadap Brahman.

Sabtu, 06 November 2010

mengenal dan memuja leluhur, dewata dan menuju Tuhan

Dalam keseharian kita di bali, banyak dari kita yang melaksanakan ritual-ritual yang memang sudah menjadi kebiasaan turun temurun. Tanpa bertanya apa arti ritual tersebut, siapa yang di puja, dan untuk apa kita memuja, kita laksanakan ritual-ritual tersebut secara terus-menerus. Tetapi, bahkan terkadang dengan bertanyapun jawaban yang diberikan oleh para tetua kita sebagian masih kurang memuaskan alias masih menimbulkan banyak pertanyaan. Spiritualitas bagi kebanyakan kita hanyalah sebatas tataran ritual yang tidak dimengerti dan tempat-tempat pemujaan hanyalah tempat untuk menghaturkan sesajen dan sekadar berdoa tanpa mengetahui kepada manifestasi Tuhan yang mana kita berdoa.
Terkadang kita mendapat cibiran dari pengnut agama lain bahwa Hindu Bali bukanlah agama,tetapi hanyalah sebuah budaya nusantara seperti yang dilaksanakan oleh banyak suku lain di indonesia, seperti pemujan leluhur yang ada juga pada suku-suku lain yang beragama non-Hindu. Kita hanya bisa menerima cibiran tersebut tanpa memberikan jawaban yang pasti. Menurut hemat saya, memuja leluhur juga merupakan suatu bentuk pemujaan Tuhan, dimana dalam konsep ke Hindu bali-an kita, dalam suatu rumah, para leluhur distanakan sebagai Bethara Guru yang di pemerajan sendiri mendapat tempat istimewa di Rong Tiga bersama dengan manifestasi Tuhan dalam bentuk Trimurti (Brahma, Visnu, Ciwa). Hal ini memiliki makna filosophis bahwa para leluhur yang telah suci tersebut telah menyatu dengan Tuhan Ciwa, sehingga dapat disebut sebagai Ciwa Guru. Dalam Bagavad Ghita sendiri diuraikan mengenai kemuliaan memuja leluhur dan para dewa, karena itu sama dengan memuja Brahman (Tuhan) itu sendiri, tetapi dalam hal ini spiritualitas kita tidak boleh berhenti pada tataran ini saja tetapi lebih memfokus ketataran ke Brahmanan (keTuhanan) itu sendiri.

Jadi, jawaban dari pertanyaan apakah agama Hindu di Bali hanya budaya atau tidak tersebut telah ada sejak ratusan tahun lalu ketika para Rsi-Rsi agung kita menancapkan tonggak hindu di bali, dimana konsep ke Hinduan di bali sebenarnya sudah sangat terancang dengan bagus pada masa-masa Bali kuno, terutama masa penataan agama Hindu oleh arsitek keagamaan terbesar kita yaitu Ida Mpu Kuturan atau dikenal juga dengan Mpu Rajakertha. Dari tingkat pelangkiran, pemerajan, merajan agung, paibon/dadya, dadya agung, kawitan, padharman, para ista dewata (terutama trimurti) yang akhirnya berpulang pada Brahman yang pada tataran manifestasi beliau sebagai Ciwa (sada ciwa, parama ciwa, dan ciwa). Contoh riil hal ini dapat kita lihat di sistem persembahyangan Pura Besakih.
Tetapi realita di masyarakat untuk selama ini berkata lain, sehingga pendapat bahwa agama Hindu di Bali adalah sebuah ritual budaya tidaklah terlalu salah. Kita manusia Bali dirancang oleh para leluhur kita dari jaman Bali kuno untuk selalu dekat dengan Tuhan. Di dalam kamar atau ruangan lain dalam rumah, kita memiliki pelangkiran, di masing masing rumah ada pamerajan, di masing masing keluarga besar memiliki paibon/dadya yang menjurus pada kawitan dan seterusnya. Tetapi ketika ditanya apa fungsi dan siapa yang dipuja pada bangunan-bangunan suci tersebut, kita sering kali tidak tahu secara pasti. dan ini merupakan suatu aib yang membuat kita malu pada para leluhur kita para Rsi-Rsi agung yang telah merancang keHinduan dengan sangat baik di Bali. Oleh karena itu, sebagai manusia yang ingin berperan sebagai suputra, mengenal manifestasi Tuhan, dimulai dari mengenal perjalanan leluhur akan memberikan inspirasi tersendiri akan keyakinan yang lebih mantap untuk memuja Tuhan, karena percaya atau tidak, bagi manusia-manusia Bali, dengan memuja, mempelajari dan mengenal leluhur dengan 'baik dan BENAR' tidaklah mengarahkan kita kepada fanatisme kesorohan, tetapi membukakan jalan kita agar lebih mulus untuk bertemu dengan sang Paramaatman. Suatu contoh: ketika suatu keluarga di Bali tidak mengetahui apa dan dimana kawitan mereka akan berdmpak sangat negatif terhadap keluarga tersebut, seperti cekcok, hancur berantakan dan lain-lain. Hal ini suatu akibat dari kedurhakaan pada para leluhur. Ini bukanlah kutukan, karena Beliau yang bagaikan orang tua tidak akan pernah mengutuk anaknya. Selalu ada maaf. Beliau yang hanya meminta kita untuk mengingat  dan menghaturkan bhakti kepada mereka agar jalan kita menuju Tuhan lebih didekatkan. Jadi, kenapa rgu, mari kita lebih dekatkan diri dengan Bhatara Kawitan kita, dengan mempelajari text-text agama yang telah beliau-beliau tinggalkan.