Minggu, 18 September 2016

Sullinggih

Lucu! itulah yang ada di dalam pikiran saya ketika membaca kasus pura Dalem dasar Bhuwana Gelgel, dimana sulinggih dari golongan tertentu tidak boleh menggunakan Bale Pawedan sebagai tempat mepuja. Sebuah hal yang sangat memalukan dilakukan oleh oknum oknum tertentu dijaman yang sudah maju dan terbuka seperti saat ini, apalagi dilakukan di sebuah parahyanagan (Pura) yang merupakan tempat penyungsungan public yang mana terdiri dari berbagai clan di Bali.
Pola pikir hierarkial dalam beragama, terutama Hindu merupakan hal warisan dari kaum feodal hingga kolonial, dimana orang orang Bali sendiri diklasifikasikan ke dalam dua golongan; menak dan jaba, dimana ini merupakan sebuah closed system (sistem tertutup)yang diterapkan berdasarkan kasta dan wangsa. Di india sendiri sistem ini dibangun oleh orang orang portugis dan inggris dengan tujuan membuat sistem penjajahan jangka panjang, karena menurut studi para antropolog, hal inilah cara paling efektif untuk memecah belah dan mengendalikan orang orang india pada saat itu dan terbukti sistem ini juga sangat ampuh di Bali karena culture kita yang sudah mengadopsi sistem wangsa dari jaman Majapahit. Bali yang terdiri dari berbagai clan/soroh dengan gampang dikotak dalam sistem tri wangsa dan jaba. Cuci otak yang beratus tahun ini telah membudaya dan seakan menghapus sistem warna dalam Weda (yang mungkin sebagian besar masyarakat kita tidak pernah membaca) yang mengklasifikasikan masyarakat secara horizontal berdasarkan guna dan karma.
kembali pada kasus di Pura Dalem Dasar Gelgel, disini yang terjadi murni bukanlah tradisi, tetapi pola pikir yang sudah terlanjur tercuci otak oleh sistem yang salah. Mungkin oknum yang bertugas pada saat itu belum mempunyai pola pikir yang terbuka, yang mengakui kesetaraan derajat manusia atau bahkan hak asasi manusia sehingga dengan kukuh merendahkan martabat seorang sulinggih. Masyarakat kita saat ini sebagian memang masih mengakui dan memuja sistem kasta, yang disebabkan oleh banyak hal, mulai dari lingkungan, tingkat pendidikan dan akses keterbukaan informasi, atau bahkan ada sebagian di gen kita yang sudah terlanjur melekat selama ratusan tahun dan membudaya sehingga sama halnya dengan budaya korupsi yang memang sangat sulit diberantas. Di Bali sendiri saat ini telah ada berbagai macam sulinggih dengan sebutannya masing masing sesuai dengan garis keturunan sorohnya. Sebut saja Pedanda dari keturunan DangHyang Nirartha, Ida Pandhita Mpu dari keturunan Ida Mpu Gnijaya, dan lain lain yang disebut oleh sebagian media (berdasarkan sosialisasi PHDI) dengan sebutan Sulinggih. yang bermakna "Beliau yang Dihormati" yang telah menjalani upacar dwijati/mediksa dan paham betul mengenai seluk beluk agama Hindu Bali beserta upacara yadnya yang mengikutinya. Ketika "Beliau yang Dihormati" ini dipilah pilah oleh sebagian oknum masyarakat, kemudian munculah beberapa celetukan mengenai sulinggih Jaba dan sulinggih Siwa. Hal ini merupakan suatu kelucuan karena dihembuskan oleh orang orang yang berpengaruh di masyarakat dan di pandang sebagai orang orang yang mengerti agama. Dalam Hindu tidak dikenal istilah pendeta kelas I, pendeta kelas II dan lain lain. Dalam Hindu Bali, seorang yang dapat dikatakan Brahmana adalah orang yang telah menjalani proses diksita/dwijati, dimana orang tersebut digambarkan terlahir kembali dari Tuhan Siwa. karena dalam Hindu setiap manusia lahir sebagai sudra (murni) dan akan mendapatkan derajatnya sesuai dengan karma dan guna nya masing masing. Semua sulinggih ini memiliki derajat yang sama, semua memuja Siwa saat ke atas dan memuja Budha saat ke tengah. Semua sulinggih ini melaksanakan puja surya sewana sebagai perwakilan Siwa setiap pagi. Semua sulinggih ini berhak mepuja di Bale Gajah Besakih setiap pujawali.
Tetapi teori tetaplah teori dan masyarakat kita sebagian masih sangat fanatik dan bangga disebut sebagai manusia kelas IV (karena ada Tri wangsa di atasnya).Mudah mudahan dengan seiring bertambahnya taraf pendidikan masyarakat, keterbukaan teknologi informasi, dimana orang orang Bali mau tidak mau akan menjadi bagian dari one world society, akan lebih terbuka pikirannya bahwa banyak hal yang lebih penting daripada mempersoalkan masalah menak dan jaba. Ada persaingan global di pasar bebas; anak anak muda Bali sudah harus bersaing dengan SDM dari seluruh dunia, bukan hanya bersaing dengan orang orang dari pulau tetangga. Sudah saatnya pikiran kita terbuka, suatu kemajuan budaya adalah suatu keharusan dan tradisi dapat dijaga tanpa mencederai ataupun menyusahkan sesama manusia Bali.

Astungkara!