Sedikit miris ketika membaca beberapa buku sejarah Bali terbitan pengarang luar negeri, Bali yang dalam mindset saya bagaikan the perfect paradise harus sedikit di edit. Betapa tidak ketika kita mengetahui sejarah panjang perbudakan yang terjadi di pulau Dewata ini. Sebut saja salah satu buku berjudul the dark side of paradise ataupun Bali chronicles yang mana mencantumkan sumber-sumber jelas penulisnya. Pada abad 18-19 jumlah budak dari Bali merupakan salah satu yang mendominasi di Batavia, dan yang lebih parah yaitu tentang perdagangan budak dengan candu yang menjadi komoditi utama para penguasa feodal Bali saat itu.
Lalu mendekati medio abad 20 pada pergerakan kemerdekaan, orang-orang kita sendirilah yang menjadi budak penjajah, seperti pembentukan Negara Indonesia Timur (bagian RIS) yang menjadi buldozer penghancur bagi para pejuang NKRI. Kemudian pembantaian tahun 1963 atau yang kita kenal dari orang-orang tua dengan sebutan gestok/gestapu, yang konon merupakan pembantaian terakbar di asia dengan menghitung skala kecilnya pulau ini dengan jumlah orang yang mati sia-sia. Bisakah kita bayangkan, saudara, teman , tetangga ataupun orang-orang yang kita kenal diseret dengan paksa menuju liang kematian ataupun dijual paksa sebagai budak tanpa proses pengadilan yang jelas. Sungguh suatu kontradiksi dengan apa yang selalu sekarang kita dengungkan tentang image Bali masa lalu, salunglung sabayantaka..menjadi kata-kata romantis dalam novel roman picisan karya penjajah dan kaum feodal.
Bali apakah yang ingin kita bangun kedepan, apakah Bali yang kembali pada romantisme ajeg yang berbau akar budaya kekerasan, ataukah Bali yang moderat dan cerdas. Budaya Bali kini terkontradiksi dengan tuntutan jaman, orang Bali lewat para tokoh adat dan agama harus pintar mengikuti gerakan jaman. Ini bisa dilihat dari banyaknya kasus adat yang terjadi. sepertinya orang Bali sendiri tidak nyaman tinggal dirumah sendiri. Jika ingin merantau harus berpikir apakah yen mati kar maan sema , dll.Sementara orang-orang yang datang dari luar pulau satu persatu membangun keberhasilannya di Bali. Jika diibaratkan ini dalam sebuah perlombaan estafet beregu, maka para pendatang ini sudah jauh berlari sementara orang Bali masih di garis start saling berebut dengan rekannya sendiri. Sudah saatnya orang Bali jadi cerdas, jadikan adat dan budaya sebagai alat memudahkan mencapai kemajuan. Lakukan inovasi agar lembaga maupun kegiatan adat merupakan sarana untuk membantu orang Bali dalam kehidupan kekiniannya. Suatu impian saya jika suatu hari desa-desa adat memiliki program beasiswa bagi warganya, program subsidi silang antar warganya yang mampu dan tidak mampu, dll. Tapi mungkin itu hanya mimpi, melihat kenyataan sekarang dimana aturan dan awig adat dibekap histeria ajeg bali sehingga menjadi lebih ketat dan intoleran dengan perkembangan jaman. Jika gerakan ajeg Bali sekarang tidak lebih dari gerakan Bali seering pada masa pra kemerdekaan maka gerakan ajeg masa lalu ini hanya akan membawa kehancuran jika tidak bisa berkaca dari sejarah masa lalu.