Bhisama Bhatara Mpu Gnijaya:
"Kamung Pasek mwang Bandesa, aywa lipia ring Kahyangan, makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring Çilayukti mwang ring Gelgel Dasar Bhuwana. Yan kita lupa ring Kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengelin ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana piteketku ri prati santana, kapratisteng prasasti, sinuhun de kita pra sama, kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali.
Mwah yan kita pageh ring piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgha yusa, amanggih wirya gunamanta, siddhi ngucap, janna nuraga, asihing Hyang, dibya guna, susila weruhing naya, mangkana cihnanyeng lepihan"
Artinya :
"Kamu Pasek dan Bandesa, janganlah kamu lupa dengan Kahyanganmu, yaitu di Lempuyang (Pura Lempuyang Madya), di Besakih (Pura Catur Lawa Ratu Pasek), Çilayukti, dan di Gelgel Dasar Bhuwana. Jika kamu lupa dengan kahyangnmu, akibatnya kamu tidak akan pernah rukun dengan keluarga, tidak henti-hentinya cekcok, banyak bekerja tapi tidak terasa hasilnya. Namun jika kamu taat pada kata-kataKu, semoga kamu selalu mendapat kemashyuran, segala ucapannya terkabul, dikasihi oleh para Dewa".
Bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya:
"Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma".
Petikan dua buah bhisama diatas yang dikutip dari lontar purana bhuwana prakempa agung merupakan suatu kontradiksi yang dapat kita lihat pada kehidupan warga pasek kekinian. Suatu kontradiksi karena warga Pasek kebanyakan telah terbiasa menjadi panjak (kurang lebih 600 tahun lalu) dari jaman penjajahan majapahit akhir dan diperparah lagi pada masa penjajahan kolonial Belanda. Secara terorganisir dan bertahap warga Pasek 'dibodohi dan terbodohi' oleh arus politik pada masa tersebut. Dimulai pada masa para Dalem yang diimport dari majapahit, warga Pasek tidak ada lagi yang melakukan swadharma kebrahmanaannya, namun lebih terlibat dalam politik praktis yang memang dibuat untuk menyingkirkan para pemimpin dari warga Pasek, hal ini dimulai pada masa Samprangan (abad ke-13), dimana dua pimpinan kita yaitu I Gusti Pangeran Pasek Gelgel dan I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa terpaksa terlibat politik yang diterapkan majapahit, guna menghindari perang dan kekacauan besar melanda Bali (Pemberontakan rakyat Bali Aga/Mula). Kemudian sejalan dengan pergantian dalem-dalem selanjutnya selalu melibatkan warga Pasek sebagai pelaku atau lebih tepat lagi sebagai 'korban'. Dan yang lebih parah lagi saat dikenalkannya sistim kasta oleh penjajah Portugis dan Belanda untuk menggantikan sistim warna dan wangsa. hal ini menyebabkan warga pasek tidak kenal lagi dengan Bhisama Bhatara Kawitannya ataupun sesana Kepasekannya.
Berkaca dari tahun-tahun yang lampau tersebut, sudah saatnya pengalaman pahit berupa penyingkiran dan pembodohan terhadap warga Pasek harus dienyahkan. Pada era Globalisasi ini warga Pasek harus bisa bersaing, dalam hal kehidupan sosial maupun ekonomi. Harga diri dan kebanggaan sebagai Pasek harus ditumbuhkan. Bukan untuk menjadi tinggi hati, tetapi untuk menjaga amanat leluhur itu sendiri. Warga Pasek harus siap menjadi pemimpin, menjadi rohaniawan, menjadi ekonom, petani atau profesi apapun itu dengan selalu mengedepankan semangat dari Bhisama Kawitan dan berkaca pada sejarah di masa silam. Jangan sampai warga Pasek mau menjadi korban politik. Jangan mau dikibuli lagi dengan sistem aguron-guron dalam kaitannya dengan me-siwa, karena warga Pasek sendiri berhak untuk mediksha dan wajib menggunakan sulinggih dari warga Pasek sendiri, yaitu Pandhita Mpu. Sudah terlalu lama warga Pasek terlelapkan dan tenggelam. Mari bangkit mengajegkan Bali dengan dimulai dari ajeg Pasek.