Kata Ajeg Bali sudah menjadi hal yang latah diucapkan oleh masyarakat Bali saat ini. Istilah ini mulai dipopulerkan tahun 2003an oleh sejumlah tokoh yang berpengaruh di Bali. Sampai saat ini banyak tafsiran yang dibuat oleh para 'pakar' maupun masyarakat umum, ada yang menganggap sebagai ajeg budaya bali, ajeg orang Bali, ajeg agama Hindu Bali, atau ajeg tradisi Bali. Ajeg dalam bahasa Bali dapat disamakan dengan kata jejeg yang dalam bahasa indonesia kurang lebih berarti berdiri tegak, tidak tergoyahkan dan tidak bergerak maju maupun mundur.
Efek dari pencanangan gerakan ajeg Bali ini dapat kita rasakan, mulai dari penyemarakan pentas tradisi-tradisi Bali, upacara agama yang semakin megah dan durasinya semakin lama, anak-anak muda yang terjun langsung kedalam segala hal yang berbau Bali tanpa tahu manfaat dan makna dari tradisi yang dilakukan, pang jeg Bali pokokne.. Dalam semarak histeria massa ajeg Bali ini terjadi pula suatu kontradiksi dimana dari segi ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan, masyarakat Bali mulai terpinggirkan. Lihat saja di kota Denpasar, di pasar-pasar tradisional yang notabene dahulu didominasi oleh pedagang Bali telah teralihkan sebagian (dan bahkan lebih) oleh pedagang dari luar pulau. Belum lagi pada tingkat pengusaha dan lain-lain, berapa banyakkah orang Bali yang menjadi pengusaha, manajer, pemilik hotel, dll. Jika dibandingkan dengan jumlah orang luar pulau yang mau tidak mau kita harus akui telah menguasai sebagian besar sektor ekonomi, bidang jasa, formal ataupun informal.
Jika mau jujur terhadap diri sendiri, ajeg Bali yang sekarang telah meninabobokan orang-orang Bali itu sendiri, dalam histeria budaya pang jeg Bali, kita tenggelam secara sangat perlahan bak perahu yang sudah tua. Alangkah baiknya jika tradisi dan upacara agama Hindu lebih disederhanakan, mengingat tuntutan jaman dimana kebutuhan ekonomi yang semakin berat dan waktu yang dimiliki setiap individu sangat terbatas. Alangkah baiknya jika uang yang telah dihabiskan masyarakat untuk berjor-joran meadat dan mekasuban itu digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Niscaya hal tersebut akan menjadi sebuah investasi yang sangat berharga 5-10tahun ke depan dimana tantangan hidup bagi generasi muda pasti akan lebih sulit lagi.
Solusi dari masalah ini harus segera dipecahkan oleh orang Bali sendiri. Ajeg Bali yang bagaimana yang akan dituju, karena ajeg bali yang sekarang mengarah kepada ajeg kaum feodalisme dengan menggunakan tameng pelestarian adat, tradisi dan budaya Bali dalam rangka mengembalikan hegemoni keningratan kolonialisme mereka dalam masyarakat adat, dimana mereka telah terdesak dalam segi ekonomi dan semakin minimnya kualitas sumber daya manusia dalam persaingan global. Kenyataan ini sekarang tergantung dari tiap individu masyarakat Bali sendiri, baik itu muda maupun tua agar cepat cepat sadar diri dan melek bahwa Bali telah ikut dalam persaingan global. Tanpa adanya semangat pembaharuan maka orang-orang Bali Hindu akan benar-benar tenggelam seperti nasib orang-orang betawi di Jakarta.
Ajeg Baliku...! Ajeg Agama Hindu yang bernapaskan weda, ajeg seni dan budaya Bali yang bernapaskan Hindu, ajeg tradisi dan adat Bali yang memajukan orang Bali (tanpa embel-embel feodalisme, ninggratisme dan ucapan nak mula keto..)