Senin, 25 Juli 2011

Ajeg Bali..?

Kata Ajeg Bali sudah menjadi hal yang latah diucapkan oleh masyarakat Bali saat ini. Istilah ini mulai dipopulerkan tahun 2003an oleh sejumlah tokoh yang berpengaruh di Bali. Sampai saat ini banyak tafsiran yang dibuat oleh para 'pakar' maupun masyarakat umum, ada yang menganggap sebagai ajeg budaya bali, ajeg orang Bali, ajeg agama Hindu Bali, atau ajeg tradisi Bali. Ajeg dalam bahasa Bali dapat disamakan dengan kata jejeg yang dalam bahasa indonesia kurang lebih berarti berdiri tegak, tidak tergoyahkan dan tidak bergerak maju maupun mundur.
Efek dari pencanangan gerakan ajeg Bali ini dapat kita rasakan, mulai dari penyemarakan pentas tradisi-tradisi Bali, upacara agama yang semakin megah dan durasinya semakin lama, anak-anak muda yang terjun langsung kedalam segala hal yang berbau Bali tanpa tahu manfaat dan makna dari tradisi yang dilakukan, pang jeg Bali pokokne.. Dalam semarak histeria massa ajeg Bali ini terjadi pula suatu kontradiksi dimana dari segi ekonomi, terutama ekonomi kerakyatan, masyarakat Bali mulai terpinggirkan. Lihat saja di kota Denpasar, di pasar-pasar tradisional yang notabene dahulu didominasi oleh pedagang Bali telah teralihkan sebagian (dan bahkan lebih) oleh pedagang dari luar pulau. Belum lagi pada tingkat pengusaha dan lain-lain, berapa banyakkah orang Bali yang menjadi pengusaha, manajer, pemilik hotel, dll. Jika dibandingkan dengan jumlah orang luar pulau yang mau tidak mau kita harus akui telah menguasai sebagian besar sektor ekonomi, bidang jasa, formal ataupun informal.
Jika mau jujur terhadap diri sendiri, ajeg Bali yang sekarang telah meninabobokan orang-orang Bali itu sendiri, dalam histeria budaya pang jeg Bali, kita tenggelam secara sangat perlahan bak perahu yang sudah tua. Alangkah baiknya jika tradisi dan upacara agama Hindu lebih disederhanakan, mengingat tuntutan jaman dimana kebutuhan ekonomi yang semakin berat dan waktu yang dimiliki setiap individu sangat terbatas. Alangkah baiknya jika uang yang telah dihabiskan masyarakat untuk berjor-joran meadat dan mekasuban itu digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. Niscaya hal tersebut akan menjadi sebuah investasi yang sangat berharga 5-10tahun ke depan dimana tantangan hidup bagi generasi muda pasti akan lebih sulit lagi.
Solusi dari masalah ini harus segera dipecahkan oleh orang Bali sendiri. Ajeg Bali yang bagaimana yang akan dituju, karena ajeg bali yang sekarang mengarah kepada ajeg kaum feodalisme dengan menggunakan tameng pelestarian adat, tradisi dan budaya Bali dalam rangka mengembalikan hegemoni keningratan kolonialisme mereka dalam masyarakat adat, dimana mereka telah terdesak dalam segi ekonomi dan semakin minimnya kualitas sumber daya manusia dalam persaingan global. Kenyataan ini sekarang tergantung dari tiap individu masyarakat Bali sendiri, baik itu muda maupun tua agar cepat cepat sadar diri dan melek bahwa Bali telah ikut dalam persaingan global. Tanpa adanya semangat pembaharuan maka orang-orang Bali Hindu akan benar-benar tenggelam seperti nasib orang-orang betawi di Jakarta. 
Ajeg Baliku...! Ajeg Agama Hindu yang bernapaskan weda, ajeg seni dan budaya Bali yang bernapaskan Hindu, ajeg tradisi dan adat Bali yang memajukan orang Bali (tanpa embel-embel feodalisme, ninggratisme dan ucapan nak mula keto..)

Kamis, 21 April 2011

Memaknai Bhisama Bhatara Kawitan dan Sejarah Dalam Kekinian

Bhisama Bhatara Mpu Gnijaya: 
"Kamung Pasek mwang Bandesa, aywa lipia ring Kahyangan, makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring Çilayukti mwang ring Gelgel Dasar Bhuwana. Yan kita lupa ring Kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengelin ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana piteketku ri prati santana, kapratisteng prasasti, sinuhun de kita pra sama, kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali.
Mwah yan kita pageh ring piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgha yusa, amanggih wirya gunamanta, siddhi ngucap, janna nuraga, asihing Hyang, dibya guna, susila weruhing naya, mangkana cihnanyeng lepihan"
Artinya :
"Kamu Pasek dan Bandesa, janganlah kamu lupa dengan Kahyanganmu, yaitu di Lempuyang (Pura Lempuyang Madya), di Besakih (Pura Catur Lawa Ratu Pasek), Çilayukti, dan di Gelgel Dasar Bhuwana. Jika kamu lupa dengan kahyangnmu, akibatnya kamu tidak akan pernah rukun dengan keluarga, tidak henti-hentinya cekcok, banyak bekerja tapi tidak terasa hasilnya. Namun jika kamu taat pada kata-kataKu, semoga kamu selalu mendapat kemashyuran, segala ucapannya terkabul, dikasihi oleh para Dewa".

Bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya:  
"Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma". 


Petikan dua buah bhisama diatas yang dikutip dari lontar purana bhuwana prakempa agung merupakan suatu kontradiksi yang dapat kita lihat pada kehidupan warga pasek kekinian. Suatu kontradiksi karena warga Pasek kebanyakan telah terbiasa menjadi panjak (kurang lebih 600 tahun lalu) dari jaman penjajahan majapahit akhir dan diperparah lagi pada masa penjajahan kolonial Belanda. Secara terorganisir dan bertahap warga Pasek 'dibodohi dan terbodohi' oleh arus politik pada masa tersebut. Dimulai pada masa para Dalem yang diimport dari majapahit, warga Pasek tidak ada lagi yang melakukan swadharma kebrahmanaannya, namun lebih terlibat dalam politik praktis yang memang dibuat untuk menyingkirkan para pemimpin dari warga Pasek, hal ini dimulai pada masa Samprangan (abad ke-13), dimana dua pimpinan kita yaitu I Gusti Pangeran Pasek Gelgel dan I Gusti Pangeran Pasek Tohjiwa terpaksa terlibat politik yang diterapkan majapahit, guna menghindari perang dan kekacauan besar melanda Bali (Pemberontakan rakyat Bali Aga/Mula). Kemudian sejalan dengan pergantian dalem-dalem selanjutnya selalu melibatkan warga Pasek sebagai pelaku atau lebih tepat lagi sebagai 'korban'. Dan yang lebih parah lagi saat dikenalkannya sistim kasta oleh penjajah Portugis dan Belanda untuk menggantikan sistim warna dan wangsa. hal ini menyebabkan warga pasek tidak kenal lagi dengan Bhisama Bhatara Kawitannya ataupun sesana Kepasekannya.
Berkaca dari tahun-tahun yang lampau tersebut, sudah saatnya pengalaman pahit berupa penyingkiran dan pembodohan terhadap warga Pasek harus dienyahkan. Pada era Globalisasi ini warga Pasek harus bisa bersaing, dalam hal kehidupan sosial maupun ekonomi. Harga diri dan kebanggaan sebagai Pasek harus ditumbuhkan. Bukan untuk menjadi tinggi hati, tetapi untuk menjaga amanat leluhur itu sendiri. Warga Pasek harus siap menjadi pemimpin, menjadi rohaniawan, menjadi ekonom, petani atau profesi apapun itu dengan selalu mengedepankan semangat dari Bhisama Kawitan dan berkaca pada sejarah di masa silam. Jangan sampai warga Pasek mau menjadi korban politik. Jangan mau dikibuli lagi dengan sistem aguron-guron dalam kaitannya dengan me-siwa, karena warga Pasek sendiri berhak untuk mediksha dan wajib menggunakan sulinggih dari warga Pasek sendiri, yaitu Pandhita Mpu. Sudah terlalu lama warga Pasek terlelapkan dan tenggelam. Mari bangkit mengajegkan Bali dengan dimulai dari ajeg Pasek.







Rabu, 05 Januari 2011

"Pasek Badak", pasek yang benar-benar sanak sapta Rsi

Pasek Badak mungkin merupakan salah satu Pasek yang masih kacau sampai sekarang. Mungkin ini disebabkan karena sejarah peperangan yang berlangsung bertahun-tahun selama beberapa generasi. Hal ini membuat banyak semeton pasek badak yang tersebar dimana-mana dan kehilangan jati dirinya. Bahkan ada semeton Pasek Badak sendiri mengaku bukanlah pasek yang 'pasek pada umumnya', alergi terhadap leluhur mereka sendiri yaitu para Sapta Rsi. Kebanyakan warga pasek badak yang alergi terhadap Sapta Rsi adalah sosok orang-orang yang punya jiwa parekan yang pasrah dengan keadaannya saat ini, tanpa ada keinginan untuk maju atau memperbaiki diri. Umumnya mereka tidak mau tahu dengan sejarah leluhur, apalagi dengan Bhisama Bhatara Kawitan, bahkan yang lebih parah lagi, mereka dengan sengaja membelokkan/memalsukan sejarah leluhur dengan tujuan dan motif pribadi.
Pasek Badak, putra dari I Gusti Pasek Tohjiwa Dimadhya yang berleluhur Pangeran Pasek Tohjiwa merupakan turunan dari Ida Mpu Ketek yang merupakan keturunan dari Ida Mpu Gni Jaya. Beliau (pasek Badak)sewaktu masih bernama Pasek Wanda pernah mengemban misi Dalem untuk menggempur Blambangan (Cri Juru) bersama dengan Kyayi Ularan, dan setelah itu pernah menetap disana, kemudian Beliau kembali ke Gelgel, ketika terjadi pemberontakan Sagung Maruti terhadap Dalem yang membuat ayah beliau, I Gusti Pasek Tohjiwa Dimadhya gugur dalam pertempuran, dan saat itu beliau melarikan keluarga menjauh dari Gelgel ke daerah yang nantinya bernama desa Buduk (berasal dari kata badak-binatang peliharaan/tunggangan pasek badak-). Di sinilah Pasek Badak mulai membangun kejayaan kepemimpinannya, dengan luas wilayah membentang dari desa badak, menyisiri pesisi selatan hingga sampai Uluwatu. Selanjutnya pada tahun-tahun kemudian kemudian muncul I Gusti Agung Putu, trah Dalem yang berniat untuk meluaskan wilayah kekuasaan dan hal inilah yang memicu terjadinya "perang tanding" antara Ratu Gede Pasek Badak dan I Gusti Agung Putu. dalam sebuah undangan jamuan makan oleh I Gusti Agung Putu, Pasek Badak ditantang di dalam puri kaleran untuk berduel, yang mana berakhir dengan tidak mampunya berbagai senjata pusaka untuk menembus kulit Pasek Badak, namun setelah berlangsung duel beberapa hari akhirnya diakhiri dengan permohonan I Gusti Agung Putu agar Pasek Badak mengalah saja, mengingat ini sudah titah Bhatara dan mengingat pula I Gusti Agung Putu merupakan trah Dalem maka Pasek Badak mau mengalah dengan syarat arwah suci Beliau disembah oleh keturunan I Gusti Agung Putu dan para catur wangsa. Dari sinilah kemudian daerah-daerah Pasek Badak kemudian diambil alih, sehingga memicu beberapa putra-putra beliau tidak terima dan memilih pergi menyebar.
Mengingat sejarah peperangan yang begitu heroik dan kebijaksanaan yang dalam oleh Pasek Badak sendiri, dimana beliau menghindarkan terjadinya perang antara pasukan yang melibatkan rakyat serta lebih memilih kemenangan yang berupa 'Mokshartam', sosok Ratu Gede Pasek Badak pastilah merupakan sosok yang sudah mencapai puncak kebijaksanaan dalam ilmu kerohanian atau bisa dikatakan sebagai satria pandhita. Sesuai dengan laku mulia yang diperankan oleh leluhur beliau para Mpu. Jadi merupakan kebanggaan bagi warih Ratu Gede Pasek Badak untuk mengakui diri sebagai warga Pasek, karena hal itu sendiri menunjukkan bhakti kepada para leluhur para Mpu yang sudah amor ring acinthya. sesuai dengan isi Bhisama Ida Bhatara Kawitan bahwa siapapun keturunan pasek yang tidak bertindak sesuai dengan sesana Kepasekan, pastilah dia akan terus turun derajatnya dan selalu gagal dalam hidupnya. Jadi untuk warga Pasek Badak yang masih tidak mau mengaku sebagai keturunan Sapta Rsi, mulailah merenung dan tanyalah pada anda diri sendiri...